Sejarah Cincin Kawin
Secara instan seorang yang sudah menikah dapat dilihat dari cincin yang melingkar di jarinya. Cincin kawin yang merupakan simbol penyatuan antara laki-laki dan perempuan di dalam institusi pernikahan mempunyai sejarah yang panjang dan misterius. Sejarah tersebut dimulai dari gurun pasir di utara Afrika, di daerah subur sepanjang sungai Nil di mana peradapan Mesir kuno berada. Sungai Nil merupakan simbol keberuntungan dan kehidupan bagi rakyat Firaun ini, dan dari tumbuhan yang tumbuh di tepi sungai kehidupan tersebut cincin kawin pertama dibentuk. Rumput dan alang-alang yang tumbuh berdampingan dengan papirus dipilin dan dikepang menjadi bentuk cincin untuk disematkan di jari.
Cincin yang berbentuk lingkaran merupakan simbol keabadian bagi orang Mesir, dan bagi banyak peradaban kuno lainnya. Seperti waktu, ia tidak mempunyai awal dan akhir. Bentuknya melambangkan simbol dari matahari dan bulan yang mereka sembah, sementara lubang ditengah melambangkan pintu menuju kesebuah kejadian yang diketahui dan tidak diketahui. Karena itu juga cincin mulai diasosiasikan dengan cinta, dengan harapan ungkapan perasaan yang paling indah ini dapat membawa karakteristik lingkaran yang abadi. Mereka memakainya sama seperti kita hari ini, di jari manis tangan kiri, karena mereka mempercayai nadi jari tersebut datang dari hati.
Legenda ini berlanjut kepada bangsa Yunani, ketika mereka menaklukan Mesir dibawah pimpinan Alexander Agung pada tahun 332 sebelum Masehi. Dan terus berlanjut ke bangsa Romawi, yang menyebutnya “Vena Amoris”, atau berarti “nadi cinta”.
Cincin pertama ini biasanya hanya bertahan kurang lebih satu tahun sebelum putus dan rusak. Cincin dari rami merupakan awal alternatif pengganti, namun beberapa orang yang lain menginginkan material yang lebih tahan lama, seperti dari kulit, tulang atau gading untuk dijadikan sebagai simbol cinta mereka. Beberapa tahun kemudian, seni penempaan metal yang mulai berkembang mengambil alih pembuatan cincin. Pada awalnya pembuatan cincin kawin dengan bahan metal belum rapih, sehingga mereka sering menambahkan batu berharga untuk disertakan dalam cincin tersebut.
Pada zaman Roma, besi sebagai lambang kekuatan cinta seorang laki-laki kepada wanita pilihannya, banyak dipakai sebagai bahan dasar pembuatan cincin, walau mempunyai kelemahan yaitu mudah berkarat. Pada saat itu juga proses pemberian cincin dari seorang pria kepada wanita mulai dijadikan sebagai pengikat yang sah dan tak dapat dipisahkan. Walau terlihat seperti seorang wanita menjadi properti laki-laki, tapi pada kenyatannya ini juga melindungi hak seorang wanita sebagai calon mempelai, dan menghindari posisinya direbut oleh pesaingnya.
Cincin emas dan perak diberikan dengan tujuan untuk menunjukan kepercayaan seorang laki-laki pada tunangannya atas barang berharganya, dan lebih jauh, cincin tersebut kadang-kadang dibuat dengan bentuk kunci. Tidak untuk ditunjukan saat upacara pernikahan, tetapi pada saat mempelai pria membawa mempelai wanita menuju rumah baru.
Pada abad ke 17 perak menjadi unggulan di Inggris dan Perancis, dimana mereka menggunakan cincin kawin menjadi bagian dari mode puisi cinta yang berkembang dimasa itu. Mereka menuliskan kata-kata cinta yang sentimental di tubuh cincin, baik di bagian dalam atau di bagian luarnya, dimana ungkapan harapan dan keyakinan termasuk didalamnya. Ini sangat populer kala itu yang sedang demam dengan karya-karya Shakespeare. Adapun emas mulai mengambil alih lagi setelah itu, dan menggeser perak hanya sebatas sebagai ide cincin tunangan, sementara cincin duplikasinya yang terbuat dari emas menggantikannya pada saat hari pernikahan.
0 komentar:
Posting Komentar